Mendongkrak Produksi Pertanian Indonesia

Membantu para petani untuk memproduksi hasil pertanian semakin banyak

Meningkatkan Hak Asasi Petani

Menjaga Prioritas dan Hak asasi yang seharusnya diperoleh para Petani

Sebagai Pemberi Informasi

Memberi Informasi kepada para petani bagaimana cara bertanam yang baik

Komunikasi yang Baik

Membawa pertanian Indonesia menjadi pertanian dengan hasil terbaik melalui komunikasi yang terjalin

Cara Terbaik

Memberi jalan keluar dan cara terbaik yang ditempuh untuk memajukan sistem pertanian berkelanjutan

Sabtu, 16 November 2013

PENGENDALIAN HAMA TIKUS

Dalam pengendalian tikus diperlukan strategi yang dapat memadukan semua teknik pengendalian yang kompatibel menjadi satu kesatuan program, sehingga populasi hama tikus selalu berada pada tingkat yang tidak menimbulkan kerugian ekonomi, menghasilkan keuntungan optimal bagi produsen serta aman bagi produsen, konsumen dan lingkungan.
Mengingat kerugian hasil panen padi yang disebabkan oleh adanya serangan hama tikus setiap musim tanam atau setiap tahunnya cukup tinggi, maka perhatian terhadap upaya pengendalian hama tikus tersebut dapat lebih ditingkatkan lagi. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah gerakan pengendalian hama tikus sebagai berikut :
(1)      Pembentukan dan pengorganisasian kelompok gerakan pengendalian hama tikus terpadu di tingkat lapangan/desa. Demikian halnya di tingkat Kecamatan, Kabupaten, Propinsi hingga ke tingkat Pusat.
(2)     Perencanaan yang sistematis dan terkoordinasi, dengan melibatkan semua unsur terkait dan aparat pemerintah dalam melaksanakan gerakan pengendalian sesuai dengan hasil peramalan serangan hama tikus serta situasi dan kondisi lapangan sejak pra tanam hingga panen.
(3)     Gagasan pengendalian hama tikus harus muncul dari petani sendiri sehingga petani mempunyai kepentingan dan tanggungjawab yang sama dalam hal pengendalian tikus.
(4)     Koordinasi antar kelompok gerakan pengendalian hama tikus terpadu mulai dari tingkat lapangan sampai ke tingkat propinsi, mengingat perkembangan hama tikus tidak mengenal batas administrasi, tempat dan waktu.
(5)     Penyediaan sarana dan prasarana pengendalian hama tikus di tingkat lapangan sesuai dengan perencanaan, yang didukung oleh kesiapan petani sebagai tenaga pelaksana operasional di lapangan.
(6)     Pelaksanaan operasional pengendalian hama tikus di lapangan secara serempak dan berkesinambungan, kontinyu, terus menerus sesuai dengan jadwal gerakan.
(7)     Evaluasi hasil pelaksanaan operasional setiap gerakan pengendalian hama tikus terpadu di setiap tingkatan kelompok gerakan untuk mengidentifikasi berbagai kendala dan permasalahan yang timbul di lapangan.
(8)     Untuk mendukung efektivitas pelaksanaan gerakan perlu dilaksanakan Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu Hama Tikus (SLPHT- Tikus).
Komponen-komponen PHT yang dapat dipadukan dalam pengendalian hama tikus antara lain :
(a)    Sanitasi Lingkungan,dilakukan dalam bentuk membersihkan semak-semak dan rerumputan, membongkar liang dan sarang serta tempat perlindungan lainnya. Dengan lingkungan yang bersih, tikus akan merasa kurang mendapat tempat berlindung.
(b)    Fisik dan Mekanis,Usaha pengendalian secara fisik maupun mekanis meliputi semua cara secara fisik langsung membunuh tikus seperti dengan pukulan, diburu dengan anjing, menggunakan perangkap tikus, penggunaan pagar plastik dan lain sebagainya. Cara pengendalian ini biasanya memberikan hasil yang memuaskan. Beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan secara mekanis antara lain :
1) Gropyokan yang dilakukan secara massal dilengkapi dengan alat pemukul, cangkul, emposan tikus dengan cara menggali liang, mengempos asap belerang ke liang dan menggalinya. Di beberapa daerah ada yang melakukan dengan bantuan regu anjing yang telah terlatih untuk berburu tikus, senapan angin, yang dinilai cukup efektif sesuai spesifik lokasi.  Kegiatan gropyokan dilakukan setelah panen hingga persemaian.
Gambar 2
:
Hasil tangkapan pada pengendalian  Gropyokan
2)  Pembongkaran liang dilakukan pada saat bera atau persiapan tanam, sekaligus membersihkan dan memperbaiki pematang sawah.
3) Perangkap bubu, dilakukan pada persemaian yang dikombinasikan dengan pagar plastik, yang diprioritaskan pada daerah endemis.
Gambar 3
:
Tikus Mati Hasil Gropyokan

Gambar 4
:
Pembongkaran LiangTikus
4) Perangkap bambu 5-10 buah/ha dengan panjang 2 meter, diletakkan pada pematang sawah yang tersebar pada jalur pergerakan tikus, saat kondisi pertanaman stadia vegetatif hingga generatif.
5) Tanaman perangkap menggunakan varietas padi yang genjah dengan luas berkisar 27 x 75 m2 dengan waktu tanam 20 hari lebih awal dan kemudian di pasang pagar plastik yang dikombinasikan dengan bubu perangkap.
6) Perangkap bubu linier (Linier Trap Barrier System) yang dapat dipasang pada waktu pertanaman padi mulai dari persemaian hingga panen. Teknologi ini sangat efektif digunakan untuk menangkap tikus dari arah habitat tikus yang berbatasan dengan tanaman padi sehingga menghambat migrasi tikus. Idealnya perdesa memiliki minimal 5 unit LTBS (1 unit/50 meter)
Gambar 5
:
Pengendalian hama tikus di persemaian dengan menggunakan pagar plastik dan bubu
(c)    Mengatur waktu tanam
Dengan mengatur waktu tanam, jangka waktu tersedianya makanan yang disukai tikus akan terbatas dan diselingi dengan masa yang kurang menguntungkan bagi perkembangbiakan tikus. Pengaturan waktu tanam ini dilaksanakan dengan menanam dalam waktu singkat untuk wilayah yang cukup luas (tanam serentak).
Diupayakan agar waktu tanam dengan selang < 10 hari dalam areal yang luas, sehingga masa generatif hampir serentak. Dengan demikian masa perkembangbiakan tikus hanya berlangsung dalam waktu yang singkat. Karena daya jelajah tikus sampai + 2 km, maka penanaman serentak hendaknya meliputi areal paling sedikit seluas ­+ 300 ha.
Mengurangi ukuran pematang di sekitar sawah, sehingga mempersulit tikus membuat liang. Pematang sebaiknya berukuran <30 cm. Bersihkan rumput-rumput, semak-semak serta tumpukan jerami, yang biasanya menjadi tempat persembunyian tikus.

(d)    Konservasi dan Pemanfaatan Musuh Alami
Banyak dijumpai musuh alami tikus di lapangan . Namun demikian banyak pula yang kehidupannya semakin terdesak oleh ulah manusia karena masyarakat kurang mengerti tentang kegunaan musuh alami tersebut. Upaya yang diperlukan terutama menumbuhkan opini masyarakat tentang arti pentingnya kehidupan musuh alami tikus yang ada di lapangan. 
Salah satu contoh musuh alami yang dapat memberikan prospek yang baik adalah burung hantu (Tyto alba), karena daya membunuhnya yang tinggi dan dapat dikembangbiakan. Musuh alami lainnya adalah ular, kucing dan anjing. Khususnya ular populasinya sudah semakin sedikit akibat seringnya di bunuh oleh manusia. Oleh sebab itu usaha konservasinya perlu ditingkatkan melalui kegiatan penyuluhan baik bagi petani maupun masyarakat lainnya.

(e)    Penerapan Pengaturan
Mengingat upaya pengendalian hama tikus yang khas maka di tingkat  lapang penerapannya harus dikuatkan   melalui kebijakan dari instansi terkait dalam hal ini adalah Pemda setempat. Kebijakan/regulasi yang diperlukan (dapat berupa instruksi, keputusan Perda, dsb) di bidang perlindungan tanaman seperti larangan perburuan terhadap satwa pemangsa (predator) hama tikus, pembentukan regu pengendalian, kewaspadaan terhadap timbulnya serangan dll.

(f)    Penggunaan Bahan kimiawi
Pengendalian tikus dengan bahan kimia adalah menggunakan racun tikus (rodentisida) dan gas beracun (fumigasi).  Berdasarkan cara penggunaannya rodentisida terdiri dari dua jenis yaitu rodentisida yang harus dicampurkan dengan umpan yang disenangi tikus (seperti; beras, jagung, ketela pohon dan ubi jalar) dan rodentisida siap pakai yaitu umpan yang telah mengandung racun.  Penggunaan rodentisida didasarkan atas adanya aktivitas tikus yaitu dengan adanya pengamatan atas jejak tikus, kotoran tikus atau gejala serangan tikus.
Berdasarkan cara kerjanya, rodentisida dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu rodentisida akut dan rodentisida kronis (anti koagulan). Rodentisida akut bekerja cepat, kematian biasanya terjadi 3-14 jam setelah peracunan. Kelemahan rodentisida akut adalah dapat menimbulkan jera umpan, sedangkan rodentisida kronis adalah racun yang daya bunuhnya lambat dan tidak menimbulkan jera umpan. Kematian terjadi beberapa hari kemudian setelah memakan umpan racun kronis tersebut.
Untuk melindungi umpan dari hujan dan agar tidak termakan hewan peliharaan, gunakan tempat umpan yang diletakkan di galengan dekat dengan tempat-tempat tikus bersembunyi atau dekat dengan liang-liang tikus serta di jalan-jalan/tempat-tempat yang biasanya dilewati tikus. Jarak antara tempat umpan  + 50 meter. Masing-masing tempat umpan di isi 10-15 g.
Gambar 6
:
Penggunaan rodentisida pada liang aktif
Pengendalian dengan menggunakan gas beracun dilakukan pada periode tanaman padi mencapai stadium bunting sampai bermalai. Cara pelaksanaannya adalah menggunakan emposan yaitu dengan cara membakar merang yang telah diisi belerang.  Gas dan asap yang dihasilkan dari pembakaran tersebut dihembuskan ke dalam liang tikus menutup semua ruang-ruang/celah-celah yang memungkinkan tikus lari.
Gambar7
:
Penggunaan fumigasi/emposan tikus

Gambar 8
:
Tikus yang terkena fumigasi ditandai dengan mata putih















sumber:

http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/1069


Jumat, 15 November 2013

Peranan Geographic Information System (GIS) Dalam Perencanaan Pengembangan Pertanian

Pendahuluan
Sektor pertanian telah dan terus dituntut berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa, penyediaan pangan dan bahan baku industri, pengentasan kemiskinan, penyedia lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat. Selain kontribusi langsung, sektor pertanian juga memiliki kontribusi yang tidak langsung berupa efek pengganda (multiplier effect), yaitu keterkaitan input-output antar industri, konsumsi dan investasi. Dampak pengganda tersebut relatif besar sehingga sektor pertanian layak dijadikan sebagai sektor andalan dalam pembangunan ekonomi nasional.


Perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam yang baik mutlak diperlukan dalam pengembangan pertanian. Tersedianya informasi potensi sumber daya lahan untuk pengembangan komoditas pertanian akan sangat membantu upaya peningkatan produksi komoditas pertanian secara berkelanjutan. Salah satu informasi dasar yang dibutuhkan untuk pengembangan pertanian adalah data spasial (peta) potensi sumberdaya lahan, yang memberikan informasi penting tentang distribusi, luasan, tingkat kesesuaian lahan, faktor pembatas, dan alternatif teknologi yang dapat diterapkan (Suryana et.al, 2005). Penginderaan Jauh Citra Satelit dan Geographic Information System (GIS) merupakan teknologi spasial yang sangat berguna dalam perencanaan pertanian.


Pemanfaatan Citra Satelit dalam Perencanaan Pengembangan Pertanian


Lillesand dan Kiefer (1990) mendefenisiskan penginderaan jauh sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah, atau gejala dengan menganalisis data yang diperoleh menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek, daerah, atau gejala yang dikaji.





Gambar 1. Aplikasi Citra Satelit dalam klasifikasi Pengguna Lahan


Saat ini, teknologi penginderaan jauh citra satelit mampu menyediakan data dengan cakupan yang luas, secara cepat dan tepat waktu. Dengan didukung sistem informasi geografis, maka perencanaan spasial dapat dilakukan dengan lebih mudah dan cepat (Jaya, 2003). Citra dapat dibedakan atas citra foto (photographic image) atau foto udara dan citra non foto (non photographic image).


Dalam perencanaan bidang pertanian, citra satelit dapat dimanfaatkan antara lain untuk perencanaan pola tanam dan perencanaan peremajaan tanaman. Ketersediaan data citra dapat membantu dalam menetukan kesesuaian lahan untuk pengembangan komoditi tertentu sesuai dengan kelas kemampuan lahan. Melalui citra, dapat diketahui gejala atau kenampakan di permukaan bumi. Citra dapat dengan cepat menggambarkan objek yang sangat sulit dijangkau oleh pengamatan langsung (lapangan) melalui intrepretasi citra. Intrepretasi citra untuk mengenali objek dilakukan melalui tahapan deteksi, identifikasi dan analisis citra.


Salah satu keuntungan dari data citra satelit untuk deteksi dan inventarisasi sumberdaya lahan pertanian adalah setiap lembar (scene) citra ini mencakup wilayah yang sangat luas yaitu sekitar 60–180 km2 (360.000–3.240.000 ha). Dengan mengamati daerah yang sangat luas sekaligus, beserta keadaan lahan yang mencakup topografi/relief, pertumbuhan tanaman/ vegetasi dan fenomena alam yang terekam dalam citra member peluang untuk mengamati, mempelajari pengaruh iklim, vegetasi, litologi dan topografi terhadap penyebaran sumberdaya lahan dan lahan pertanian (Puslit. Tanah dan Agroklimat, 2000).


Dengan teknologi Inderaja, penjelajahan lapangan dapat dikurangi, sehingga akan menghemat waktu dan biaya bila dibanding dengan cara teristris di lapangan. Pemanfaatan teknologi Inderaja di Indonesia perlu lebih dikembangan dan diaplikasikan untuk mendukung efisiensi pelaksanaan inventarisasi sumberdaya lahan/tanah dan identifikasi penyebaran karakteristik lahan pertanian (lahan sawah, lahan kering, lahan rawa, lahan tidur, lahan kritis, estimasi produksi) terutama pada wilayah sentra produksi pangan.





Gambar 2. Perencanaan lahan-lahan pertanian yang akan ditanami jenis tanaman dengan varietas tertentu dalam pilot projek penelitian diversifikasi dan ketahanan terhadap hama dan penyakit.


Beberapa jenis citra satelit yang biasa digunakan adalah citra satelit Landsat, SPOT, Ikonos (untuk perencanaan penggunaan lahan dan hidrologi), NOAA, Meteor dan GMS (untuk klimatologi), dan lain sebagainya. Ketersediaan citra IKONOS dan SPOT 5 yang mempunyai resolusi spasial yang tinggi telah membuka peluang untuk mendapatkan informasi tutupan lahan detail. Citra IKONOS telah digunakan oleh banyak pemerintah daerah kabupaten dan atau perusahaan swasta nasional untuk memetakan sumber daya alam yang ada di wilayahnya.


Aplikasi GIS dalam Perencanaan Pertanian


Menurut Puntodewo, et.al, (2003) secara harafiah, GIS (Geographic Information System) atau Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat diartikan sebagai ”suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras,perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk menangkap, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa, dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis”.


Dilihat dari definisinya, GIS adalah suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang tidak dapat berdiri sendiri-sendiri. Memiliki perangkat keras komputer beserta dengan perangkat lunaknya belum berarti bahwa kita sudah memiliki GIS apabila data geografis dan sumberdaya manusia yang mengoperasikannya belum ada. Kemampuan sumberdaya manusia untuk memformulasikan persoalan dan menganalisa hasil akhir sangat berperan dalam keberhasilan sistem GIS.


Sebagai suatu bentuk sistem informasi, GIS menyajikan informasi dalam bentuk grafis dengan menggunakan peta sebagai antar muka, saat ini banyak digunakan untuk perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang berkaitan dengan wilayah geografis. Subaryono (2005) mengemukakan bahwa GIS sering digunakan untuk pengambilan keputusan dalam suatu perencanaan. Para pengambil keputusan akan lebih mudah untuk menganalisa data yang ada dengan menggunakan GIS.





Gambar 3. Pemanfaatan GIS dalam perencanaan bidang pertanian


Aplikasi GIS pada perencanaan bidang pertanian antara lain (1) Perencanaan Pengelola Produksi Tanaman, GIS dapat digunakan untuk membantu perencanaan pengelolaan sumberdaya pertanian dan perkebunan seperti luas kawasan untuk tanaman, pepohonan, atau saluran air. Selain itu GIS digunakan untuk menetapkan masa panen, mengembangkan sistem rotasi tanam, dan melakukan perhitungan secara tahunan terhadap kerusakan tanah yang terjadi karena perbedaan pembibitan, penanaman, atau teknik yang digunakan dalam masa panen. Proses pengolahan tanah, proses pembibitan, proses penanaman, proses perlindungan dari hama dan penyakit tananan dapat dikelola oleh manager kebun, bahkan dapat dipantau dari direksi; (2) Perencanaan Pengelola Sistem Irigasi, GIS digunakan untuk membantu perencanaan irigasi dari tanah-tanah pertanian. GIS dapat membantu perencanaan kapasitas sistem, katup-katup, efisiensi, serta perencanaan distribusi menyeluruh dari air di dalam sistem.





Gambar 4. Sistem Informasi Geografi (GIS) berbasis pemetaan


Walaupun saat ini penggunaan GIS dalam bidang pertanian belum umum dipakai, tapi bukanya tidak mungkin penerapan GIS dalam dunia pertanian akan makin sering dipakai. Sistem GIS ini bukan semata-mata software atau aplikasi komputer, namun merupakan keseluruhan dari pekerjaan managemen pengelolaan lahan pertanian, pemetaan lahan, pencatatan kegiatan harian di kebun menjadi database, perencanaan system dan lain-lain. Sehingga bisa dikatakan merupakan perencanaan ulang pengelolaan pertanian menjadi sistem yang terintegrasi. Dalam jangka panjang, bisa direduksi kemungkinan permasalahan lahan baik fisik maupun sosial. Bahkan dapat menjamin keberlangsungan perkebunan sebagai contohnya, dengan syarat pihak managemen senantiasa mempelajari berjalannya sistem ini dan mengambil keputusan managerial yang tepat.


Tantangan Pemanfaatan Citra Satelit dan GIS


Penggunaan GIS belum lama dimulai, dan cukup bervariasi antar negara, yaitu dalam hal tujuan, aplikasi, skala operasional, kesinambungan, dan pembiayaan. Proses dimulainya penggunaan GIS di negara berkembang pada umumnya adalah dari proyek percontohan, dan bukan sistem yang berjalan secara operasional. Oleh karena itu GIS sebagian besar dikembangkan tanpa sebuah obyektif jangka panjang untuk mengintegrasikannya dengan GIS atau basisdata lain. GIS sebagian besar bukan dimaksudkan untuk digunakan oleh banyak orang dan biasanya dirancang untuk keperluan khusus.


Selain itu GIS lebih banyak dikembangkan pada level regional daripada level nasional dan urban. Dataset kebanyakan terdiri dari data biofisik, sedangkan data sosial-ekonomi jarang tercakup. Karena pendanaan dari pengembangan GIS kebanyakan dari bantuan internasional, proyek GIS cenderung dikelola oleh ahli yang biasanya masa kerjanya pendek, dan bukan oleh staf lokal.


Kendala yang dihadapi, sekaligus juga merupakan tantangan dalam pembangunan sebuah sistem informasi, khususnya sistem informasi yang juga memasukkan aspek spasial (keruangan) antara lain di pasaran dewasa ini, banyak sekali ditawarkan perangkat lunak yang khusus untuk menyeiakan data spasial tersebut dengan harga yang bervariasi. Faktor yang menjadi kendala terutama bagi pengguna yang sangat awam terhadap disiplin ilmu ”Sistem Informasi Geografis” dan hanya ingin mendapatkan informasi yang diinginkan saja tanpa perlu mengetahui lebih dalam tentang proses bisnisnya.


Faktor pengoperasian perangkat lunak juga menjadi kendala karena kurangnya kapasitas sumber daya manusia yang dalam bisang ini. Faktor data penunjang, utamanya data spasial, yang relatif lebih mahal dan mempunyai rentang waktu pembaruan data yang relatif lebih lama dibandingkan dengan data tabular. Hal ini mengakibatkan ketersediaan data yang diinginkan oleh penggunakan sangat terbatas karena untuk mendapakan diperlukan biaya yang cukup tinggi. Secara umum untuk saat ini teknologi ini masih sangat terbatas dan aplikasinya masih sangat terbatas dalam bidang pertanian.

Selain kendala yang berkaitan dengan proses dimulainya pengembangan GIS di atas, beberapa faktor lain yang menghambat pemakaian dan pengembangan GIS di Negara berkembang adalah kurangnya sumber dana, kurangnya pendidikan di bidang ini, kurangnya komunikasi antara para birokrat dengan teknokrat, rendahnya alur informasi, faktor politis yang berubah dengan cepat, kurangnya keleluasaan untuk memilih dan mengembangkan GIS karena bantuan asing yang biasanya cukup mengikat.


Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, pelatihan merupakan langkah penting untuk mengembangkan kapasitas sumber daya manusia. Selain itu komitmen dari lembaga pemerintah untuk pemakaian GIS, terutama dalam hal perencanaan, akan sangat berguna. Juga dengan melibatkan instansi lain seperti industri dan lembaga internasional, kemungkinan keberhasilan pengembangan GIS akan meningkat.


Kesimpulan


Pemanfaatan citra satelit dan GIS dalam perencanaan pengembangan pertanian sangat dibutuhkan utamanya dalam perencanaan pengelolaan produksi tanaman, perencanaan sistem irigasi, dan perencanaan peremajaan tanaman. Namun demikian terdapat kendala yang juga merupakan tantangan dan hambatan dalam aplikasinya antara lain mengenai ketersediaan data yang masih terbatas, harga yang cukup mahal, serta sumber daya manuasia dalam bidang ini yang masih terbatas. Untuk itu diperlukan pelatihan secara intensif untuk mengembangkan kapasitas sumber daya manusia serta komitmen pemerintah untuk pemakaian teknologi GIS terutama dalam hal perencanaan.

Sumber :

Pertanian Berkelanjutan Menyelamatkan Kesejahteraan Petani dan Masyarakat Desa

Admin - Sejauhmana kita mengenal model pertanian berkelanjutan. Apa bedanya dengan pertanian konvensional (baca: Revolusi Hijau). Apakah pertanian berkelanjutan meng-untungkan petani? Bagaimana kontribusi pertanian ini bagi kesejahteraan masyarakat petani yang tinggal di pedesaan?




Pembangunan pertanian di Indonesia dimulai pada tahun 1960 an, sebagai pilihan kondisi saat itu dimana kita kekurangan pangan akibat situasi ekonomi politik yang tidak me-nguntungkan dan ledakan penduduk yang luar biasa. Yang dipikirkan saat itu adalah bagaimana menekan jumlah penduduk dan mencukupi kebutuhan pangan secara nasional. Pembangunan pertanian saat itu dibangun dengan mengadopsi model yang sedang berkembang di berbagai belahan dunia, dimana model pertanian harus dirubah secara total. Pertanian tradisi-onal dianggap tidak layak lagi karena yang dibutuhkan adalah ketersediaan pangan dalam jumlah besar dan cepat. kebutuhan pangan ini muncul seiring dengan banyaknya perusahaan multinasional yang mendirikan pabrik pestisida dan pupuk kimia, serta benih-benih hybrida baik yang diproduksi perusahaan maupun dari pusat-pusat penelitian internasional (misalnya IRRI). Di samping itu ada tawaran hutang dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia (World Bank), IMF, dll.

Sejak saat itulah terjadi perubahan besar-besaran di tingkat petani dan lingkungannya, dimana saat itu petani yang tidak pernah menggunakan benih hybrida, pupuk kimia dan pestisida, dipaksa menggunakannya. Lahan yang biasa diolah dengan menggunakan ternak, dipaksa diolah dengan traktor dan mesin lainnya. Waduk-waduk dibangun untuk mencukupi kebutuhan air sepanjang tahun. Infrastruktur desa seperti jalan, pasar, KUD juga dibangun untuk mempermudah penjualan produk pertanian mereka serta dalam rangka penyaluran kredit.

Dampaknya tentu sangat luar biasa. Ketersediaan pangan terutama beras melimpah, bahkan tahun 1987 Indonesia dinyatakan berswasembada beras. Pola makanan pokok masyarakat Indonesia beralih ke beras. Penggunaan asupan luar yang merupakan produk pabrikan ternyata merusak struktur tanah, lingkungan tercemar, polusi air bahkan beragam mikroba tanah musnah. Penggunaan alat mekanisasi pertanian menyebabkan akses ekonomi perempuan hilang. Pembangunan waduk menggusur tanah-tanah rakyat, dsb.

Dampak utama pembangunan pertanian konvensional yang berjalan hampir 40 tahun ini adalah terpuruknya kehidupan petani. Petani yang diandalkan sebagai aktor utama penyangga ketersediaan pangan nasional, ternyata tingkat kesejahteraan ekonominya tidak lebih baik. Angkatan kerja muda pertanian hilang karena banyak di antara mereka pindah (urbanisasi) ke kota, beralih profesi menjadi buruh pabrik atau bangunan, pembantu rumah tangga, hingga menjadi pekerja migran ke luar negeri. Tidak ada generasi muda yang mau (bercita-cita) menjadi petani.

Perubahan Paradigma
Kerusakan-kerusakan struktur tanah, polusi air, pencemaran lingkungan akibat penggunaan pupuk dan pestisida buatan pabrik menghasilkan produk-produk pertaniannya mengandung racun. Kesehatan manusia (konsumen) terancam. Berbagai penyakit yang dite- ngarai sebagai akibat penggunaan pupuk dan pestisida pabrik adalah munculnya penyakit-penyakit baru yang dulu tidak ada, misalnya kanker, bayi lahir mati (infant mortality) atau lahir cacat, dlsb. Kenyataan ini memicu kesadaran orang untuk mencari alternatif pangan yang lebih sehat. Pertanian lestari menjadi pilihan utama dan muncul sebagai gerakan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) pada awal 1990-an.

Munculnya gerakan ini semula dipelopori oleh para pecinta lingkungan yang khawatir terjadi kerusakan alam secara terus menerus akibat penggunaan bahan-bahan kimia, juga punahnya berbagai keane-karagaman-hayati di muka bumi. Gerakan ini mendorong perubahan dalam praktek-praktek usaha tani. Penggunaan bahan-bahan kimia (pupuk dan pestisida) dikurangi, kembali ke cara-cara tradisional yang menghargai potensi lokal, menempatkan petani sebagai subyek pertanian, mengelola usaha tani sesuai dengan budaya dan lingkungan setempat, serta mengupaya-kan perdagangan yang adil (fair trade). Upaya-upaya perubahan pola pertanian ini sangat bergantung pada kepentingan petani, apakah secara pelan atau secara total. Pendekatan perubahan ini banyak ragamnya, tergantung pada fokus pembelajarannya. Gerakan perubahan pola pertanian yang selaras alam dan lestari banyak dimotori oleh penggiat LSM Lingkungan, Pene-liti dan Akademisi, juga oleh petani sendiri. Beragamnya pola pendekatan dan strategi yang dikembangkan menjadikan gerakan ini sangat populer. Banyak donor yang ikut mendukung terwujudnya gerakan ini.

Pendekatan dan strategi yang dikembangkan dalam model pertanian berkelanjutan ini dilakukan dengan cara mendorong tumbuhnya sumber-sumber pendapatan keluarga petani di pedesaan tanpa harus merubah budaya kehidupan yang sudah dikenalnya sejak lahir yakni pertanian. Strategi yang banyak dikembangkan mencakup 2 hal yakni on farm (di lahan pertanian) dan off farm (di luar lahan pertanian). Model on farm yang dikembangkan tidak harus kembali pada model tradisi-onal yang sudah ada sejak dulu, namun perlu disesuaikan dengan situasi lingkungan yang sudah berubah, juga kebutuhan (pangan dan ekonomi) yang semakin besar. Kedua model ini memadukan beragam cara agar petani mempunyai kesempatan memperoleh pendapatan dari berbagai sumber (diversifikasi usaha).

Model pertanian berkelanjutan ini juga muncul sebagai upaya untuk menjawab berbagai persoalan yang ditimbulkan sebagai dampak Revolusi Hijau. Re-volusi hijau memang diciptakan untuk mengantisipasi kekurangan pangan di seluruh dunia yang terjadi pada sekitar tahun 1960-an, karena ledakan jumlah penduduk, kemiskinan dan kelaparan di berbagai negara akibat perang.

Revolusi hijau dimodali oleh korporasi international (TNC/MNC) di bidang pertanian dan berhasil menangguk keuntungan yang luar biasa besar. Mereka menanamkan modal besar untuk mendorong munculnya pusat penelitian tanaman pangan di berbagai negara, mengambil benih lokal petani untuk dijadikan benih baru dan kemudian dipatenkan. Untuk menanam benih baru supaya menghasilkan panen yang optimal, harus menggunakan pupuk dan pestisida. Gen (benih) yang digunakan untuk menghasilkan varietas tanaman baru memang dipilih yang bersifat rakus pupuk dan pestisida. Pemilik pabrik benih, pupuk dan pestisida adalah perusahaan yang sama. Tercatat di tahun 2000, ada 6 perusahaan kimia pertanian terbesar yaitu Sygenta, Monsanto, Dupont, Aventis, BASF dan Down Chemical Co mampu mengeruk keuntungan lebih dari US $ 20.422 juta dari penjualan bahan kimia pertanian, dan US $ 4.836 juta dari benih dan pangan transgenik. Bahkan perusahaan tersebut akan terus mengeruk keuntungan dari petani dan masyarakat dengan janji bahwa pertanian dengan tehnologi tinggi akan memberikan hasil panen yang lebih tinggi serta berkualitas, tahan serangan hama penyakit, dan mampu menghasilkan produksi tinggi. Revolusi hijau selalu dipakai sebagai alat promosi keamanan pangan dan kesejahteraan pe-tani hingga saat ini.

Prinsip pengelolaan pertanian berkelanjutan adalah multikultur, menghargai keanekaragaman hayati, menghargai kearifan lokal, memanfaatkan bahan-bahan lokal, tidak bergantung bahan luar, tidak mengekploitasi alam serta sesuai budaya dan pilihan serta kemampuan petani. Prinsip-prinsip tersebut menumbuhkan beragam model pertanian berkelanjutan di berbagai belahan dunia. Petani kecil yang seringkali mempunyai keterbatasan dalam mengakses sarana dan prasarana produksi pertanian, melalui pertanian lestari mempunyai peluang yang luas dalam memba-ngun usaha pertaniannya. Kepercayaan petani kembali tumbuh karena bisa membuat keputusan sendiri terhadap usaha taninya serta mampu membuat benih pupuk dan pestisida sendiri, mempunyai organisasi serta jari-ngan antar petani.

Pertanian Berkelanjutan
Sebagian orang menilai bahwa pertanian konvensional tidak beda dengan pertanian berkelanjutan. Perbedaannya hanya terletak pada penggunaan unsur-unsurnya. Pertanian berkelanjutan lebih menekankan penggunaan unsur-unsur alam, dan mesti bekerjasama dengan alam untuk jangka waktu yang panjang, unsur-unsur yang digunakan untuk usaha pertanian tidak boleh merusak alam. Namun ada juga yang berpendapat bahwa pertanian berkelanjutan harus melawan pertanian konvensional, dengan cara menghentikan total penggunaan bahan ki-mia pertanian.

Menurut Jaker PO (Jari-ngan Kerja Pertanian Organik) dan IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movement), ada 4 prinsip dasar dalam membangun gerakan pertanian berkelanjutan :
Prinsip ekologis Prinsip ini mengembangkan upaya bahwa pola hubungan antara organisme dengan alam adalah satu kesatuan. Upaya-upaya pemanfaatan air, tanah, udara, iklim serta sumber-sumber keane-karagaman-hayati di alam harus seoptimal mungkin (tidak mengeksploitasi). Upaya-upaya pelesta-rian harus sejalan dengan upaya pemanfaatan.
Prinsip teknis Produksi dan pengolahan Prinsip teknis ini merupakan dasar untuk mengupayakan suatu produk organik. Yang termasuk dalam prinsip ini mulai dari transisi lahan model pertanian konvensional ke pertanian berkelanjutan, cara pengelolaannya, pemupukan, pengelolaan hama dan penyakit hingga penggunaan teknologi yang digunakan sejauh mungkin mempertimbangkan kondisi fisik setempat.
Prinsip Sosial ekonomis Prinsip ini menekankan pada penerimaan model pertanian secara sosial dan secara ekonomis menguntungkan petani. Selain itu juga mendorong berkembangnya kearifan lokal, kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, dan mendorong kemandirian petani.
Prinsip Politik

Prinsip ini mengutamakan adanya kebijakan yang tidak bertentangan dengan upaya pengembangan pertanian berkelanjutan. Kebijakan ini baik dalam upaya produksi, kebijakan harga, maupun adanya pemasaran yang adil.

Gerakan pertanian berkelanjutan yang terjadi di hampir setiap negara, terutama negara-negara Amerika, Eropa dan Asia selama 10 tahun terakhir ini me- nunjukkan perubahan-perubahan yang menarik. Perubahan yang muncul antara lain:
Gerakan konsumen hijau adalah perubahan ke-sadaran dan pola konsumen terhadap produk pa-ngan yang ramah lingkungan (organik) meningkat. Gerakan konsumen ini sangat mendukung upaya penyelamatan lingkungan dan menekan perusahaan pertanian dalam memproduksi barang dan jasa agar menggunakan etika kemanusiaan dan lingkungan. Contoh gerakan konsumen hijau yang menyelamatkan lingkungan misalnya kasus dukuh Tapak, kasus produk Nestlle, dll.
Sertifikasi Hijau Produk pertanian organik menghadapi tantangan konsumen yang membutuhkan jaminan keamanan (higienitas) produk tersebut. Beberapa lembaga nasional dan internasional telah mengkaji produk-produk pertanian organik. IFOAM adalah salah satu lembaga independent yang diakui bisa memberikan sertifikasi organik. Di Indonesia Lembaga Ekolabel Indonesia kesulitan bekerjasama dengan lembaga-lembaga ini terbentur pada masalah teknis (komunikasi, jarak yang jauh, dll) serta biaya proses sertifikasi yang mahal. Pada prakteknya, sudah banyak produk-produk yang diberi label hijau/organik untuk berbagai produk pertanian, kayu, susu, sepatu, kertas, dll.
Perusahaan hijau Munculnya kesadaran konsumen untuk memilih produk-produk pertanian organik mendorong ba-nyak perusahaan untuk merubah citranya. Peluang-peluang bisnis pertanian organik bermunculan, seperti perdagangan beras dan sayuran organik. Namun perubahan citra ini oleh sebagian besar perusahaan masih digunakan hanya sebagai taktik untuk tetap dapat memasarkan produknya.

Tantangan Sejauh ini model pertanian organik masih merupa-kan arah gerakan baru yang memberikan harapan keberlanjutan, tidak merusak lingkungan, bisa diterima secara sosial dan budaya. Gerakan ini masih harus diupayakan agar lebih menguntungkan secara ekonomi, politik dan sosial budaya bagi kehidupan petani. Ge-rakan konsumen yang menjadi penunjang (pendorong) gerakan ini masih harus dibangun terus agar ada kesinambungan dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani dan keluarganya di pedesaan.

Sumber :
http://blh.grobogan.go.id/artikel/171-pertanian-berkelanjutan-menyelamatkan-kesejahteraan-petani-dan-masyarakat-desa.html

Kamis, 14 November 2013

Tentang Penulis

Nama          : Qonita Miftakhurrohmah
Pekerjaan    : Mahasiswi
Universitas   : Gajah Mada
Jurusan        : HPT
TTL             : Gunungkidul, 25 September 1993

Nama          : Dewi Putri Hestiani
Pekerjaan    : Mahasiswi
Universitas  : Gajah Mada
Jurusan       : Ilmu Tanah
TTL            : Palembang, 15 Desember 1994

Nama          : Iin Marlina Putri
Pekerjaan    : Mahasiswi
Universitas   : Gajah Mada
Jurusan        : HPT
TTL             : Sleman, 24 Maret 1995